Saturday, 26 September 2015

EFISIENSI ALOKASI DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Distribusi pendapatan merupakan aspek terpenting karena berkaitan dengan bagaimana individu dapat mengalokasikan sumber daya secara efisien. Sumber daya yang efisien akan tercipta manakalah individu dapat mencapai titik kepuasan maksimal, dengan seadil-adilnya tanpa menzalimi individu yang lainnya. Dalam islam terdapat berbagai nilai dan norma-norma yang harus diperhatikan dalam hal pengalokasian maupun pendistribusian pendapatan. Nilai dan norma-norma inilah yang menjadikan berbeda dengan konvensonal. Islam memang mengenal adanya kepemilikan individu yang mana dengan kepemilikan tersebut individu bebas memanfaatkannya, namun harus digaris bawahi terkait kebebasan kepemilikan, dimana dalam kekayaan yang menjadi milik individu bukan merupakan suatu kepemilikan yang mutlak, karena dalam Al-Qur’an sendiri menjelaskan bahwa setiap harta yang kita miliki terdapat hak-hak orang lain termasuk hak orang miskin.
Jadi pada intinya sebelum mengalokasikan dan mendistribusikan sumber daya yang dimiliki terlebih dahulu mempertimbangkan dan memikirkan  kemaslahatan umat dan bukan self interest. Demikian halnya dalam pembahasan pada bab selanjutnya akan diuraikan mengenai pengalokasian secara efisiensi dan pendistribusian pendapatan dari konsep ekonomi umum (konvesional), kemudian perbandingannya dengan konsep efisiensi alokasi dan distribusi pendapatan menurut islam.
B.      Rumusan Masalah
·       Bagaimana alokasi yang efisien dan cara pendistribusian pendapatan menurut islam?
·       Apa yang menjadi perbedaan antara konsep ekonomi umum (konvensional) dengan konsep islam?
C.      Tujuan
·       Mengetahui dan memahami bagamana terciptanya alokasi yang efisien dan pendistribusian pendapatan menurut islam.
·       Mengetahui dan memahami aspek-aspek yang menjadi perbedaan efisiensi alokasi dan distribusi pendapatan antara konsep ekonomi umum dan konsep ekonomi islam.


1
BAB II
PEMBAHASAN

A.      Efisiensi Alokasi
Ekonomi islam mazhab mainstream menggunakan defenisi efisiensi yang sama dengan defenisi ekonomi neoklasik, dimana persoalan efisiensi diwujudkan sebagai masalah optimasi. Pada perilaku konsumen tunggal, efisiensi dicapai dengan mengalokasikan anggaran tertentu pada kombinasi barang dan jasa yang memaksimumkan kegunaan konsumen. Pada kasus produsen tunggal, optimasi bisa dicapai melalui dua jalur : penggunaan kombinasi input yang memaksimasi laba, atau penggunaan input yang meminimumkan biaya untuk mencapai tingkat produksi tertentu.[1]
Iman Ali r.a diriwayatkan pernah mengatakan “ janganlah  kesejahteraan salah seorang diantara kamu meningkat namun pada saat yang sama kesejahteraan yang lain menurun.” Dalam ekonomi konvensional keadaan ini dikenal sebagai efficient allocation of goods yaitu alokaasi barang-barang dikatakan efesien bila tidak seorang pun dapat meningkatkan utiliynya tanpa mengurangi utility orang lain.[2]
Katakanlah jono dan kirun mempunyai 10 unit makanan dan 6 pakaian. Awalnya jono memiliki 7 unit makanan dan 1 unit pakaian sedangkan kirun memiliki 3 unit makanan dan 5 pakaian. Bagi kirun, ia bersedia memberikan 3 unit pakaian untuk mendapatkan 1 unit makanan. Sedangkan bagi jono, ia bersedia memberikan ½ unit pakaian untuk mendapatkan 1 unit makanan. Nah karena jono lebih menyukai pakaian dari pada kirun, maka keduanya dapat lebih tinggi utilitynya dengan melakukan pertukaran.
Selama MRS (marginal rate of subtitusion) dari jono dan kirun berbeda, maka mereka akan terus melakukan pertukaran karena keduanya dapat terus meningkatkan utilitynya, dengan kata lain, selama MRS nya berbeda maka alokasi belum efesien. Alokasi efesien tercapai ketika MRS nya berbeda maka alokasi belum efesien. Alokasi efesien tercapai ketika MRS setiap orang sama.



2
B.      Efisiensi dan keadilan
efesiensi alokasi hanya menjelaskan bahwa bila semua sumber daya yang ada habis teralokaasi, maka alokasi yang efesien tercapai. Tetapi tidak mengatakan apa pun perihal apakah alokasi tersebut adil. Para ekonom konvensional berbeda pendapat tentang distribusi yang adil:
1.   Konsep Egalitarian : setiap orang dalam kelompok masyarakat menerima barang sejumlah yang sama
2.   Konsep rawlsian : maksimal utility orang yang paling miskin
3.   Konsep utilitarian :maksimalkan utility dari setiap orang dalam kelompok masyarakat
4.   Konsep market oriented: hasil pertukaran melalui mekanisme pasar adalah yang paling adil.
Dalam konsep ekonomi islam, adil  adalah “ tidak menzalimi dan tidak dizalimi.” Bisa jadi “ sama rasa sama rata” tidak adil dalam pandangan islam karena tidak memberikan insentif bagi orang yang bekerja keras. Lihat saja contoh jono dan kirun, alokasi terakhir yang tidak efesien tidak “sama rata sama rasa”. Malah bila dipaksakan “ sama rata sama rasa” alokasinya tidak efesien karena mengabaikan kenyataan bahwa manusia mempunyai selera yang berbeda. Bisa jadi “you get what you deserve” tidak adil dalam pandangan islam karena orang yang endowmentnya tinggi mempunyai posisi tawar yang lebih kuat daripada yang endowment nya kecil sehingga yang kuat dapat menzalimi yang lemah.
Misalnya umar ibn khattab r.a menetapkan tarif kharaj yang berbeda untuk lahan yang ditanami tanaman yang berbda : untuk lahan yang ditanami gandum tarifnya satu dirham ditambah satu qafiz, untuk buah-buahan tarifnya sepuluh dirham, untuk lada tarifnya lima dirham.Bgitu pula dalam pembagian harta Baitul Maal, Umar r.a. mengatur tunjangan pertahun Rasulullah SAW. Abbas ibn Abdul Mutablib mendapat 12.000 dirham, istri-istri Rasulullah 12.000 dirham, safiyah ibn Abdul mytalib 6000 dirham, Ali, Hasan, Husein, mujahid Badar masing –masing 5000 dirham, kaum Anshar mujahid uhud dan mujahirin ke Abisina masing-msig 4000 dirham ,yatim ahli Badar 2000 dirham,dan seterusnya dan seterusnya sampai seorang gembala di gurun Sinai pun mendapat bagianya. Dengan perubahan kondisi sosial ekonomi masyarakat, imam Ai r.a. adalah untuk keadilan. Dalam konsep islam, bukan “sama rata sama rasa” yang penting, bukan pula “ you get what you deserve” yag penting, tetapi yang penting adalah tidak ada yang di dzalimi dan tidak ada yang mendzaimi.

3
            Lebih dari sekedar efisiensi dan keadilan, konsep ekonomi islam juga mendorong pada upaya membesarkan endowment ( meningkatkan  production possibility frontier) atau dalam konteks ini membesarkan Edgeworth Box. Berkutat pada distribusi yang berkeadilan saja berarti suatu zero sum game. Misalnya utility jono naik 5, utility kirun turun 5, kenaikan total utility nihil. Oleh karena itu , konsep islam adalah mendorong terjadinya Positive sum game. Misalnya utility jono naik 5, utility kirun naik 5, kenaikan  total utility 10. Jadi bukan hanya mempersoalkan “kue” akan dibagi secara adil, namun juga bagaimana “kue” yang akan di bagi bertambah besar.
C.      Distribusi Pendapatan
Distribusi atau pembagian adalah klasifikasi pembayaran-pembayaran berupa sewa, upah, bunga modal dan laba, yang berhubungan dengan tugas-tugas yang dilaksanakan oleh tanah, tenaga kerja, modal dan pengusaha-pengusaha. Ia adalah proses penentuan harga yang dipandang dari sudut si penerima pendapatan dan bukanlah dari sudut si pembayar biaya-biaya. Distribusi juga berarti sinonim untuk pemasaran (marketing). Namun demikian, fikih klasik nampaknya hanya memberi pengertian secara etimologi saja yaitu “tauzii” (distribusi), belum ada pengertian tauzii secara terminologi yang cukup relevan dengan tema distribusi dalam ekonomi teoritika modern.[3]
Hingga kemudian, sebagian ekonom muslim juga menulis tentang ekonomi islami dan melakukan "adaptasi" terhadap terminologi-terminologi ekonomi konvensional, seperti yang dilakukan Abdul Hamid Ghazali (1989 : 79), Muhammad Afar (1996: 32), Umer Chapra (2000: 99), dan lain-lain. Barangkali inilah pandangan mainstream ekonom muslim pada umumnya karena bagi mereka konsentrasi teoritis ilmu ekonomi manapun pasti akan membahas aspek alokasi dan distribusi sumber-sumber daya. Belakangan terminologi redistribusi (I’âdat at Tauzii’) juga digunakan oleh sebagian ekonom muslim dengan berkaca pada adanya mekanisme zakat, sedekah, kafarat, belanja wajib yang diterapkan dalam Islam.
Konsep dasar kapitalis dalam permasalahan distribusi adalah kepemilikan private (pribadi). Makanya permasalahan yang timbul adalah adanya perbedaan mencolok pada kepemilikan, pendapatan, dan harta. Milton H. spences menulis dalam bukunya contemporary economics: “ Kapitalisme merupakan sebuah sistem organisasi ekonomi yang

4
dicirikan oleh hak milik privat (individu) atas alat-alat produksi dan distribusi dan pemanfaatannya untuk mencapai laba dalam kondisi-kondisi yang sangat kompetitif ”.
Sedangkan sosialis lebih melihat kepada kerja sebai basic dari distribusi pendapatan. Setiap kepemilikan hanya bias dilahirkan dari buah kerja seseorang, oleh sebab itu, adanya perbedaan dalam kepemilikan tidak disebabkan oleh kepemilikan pribadi tapi lebih kepada adanya perbedaan pada kapabilitas dan bakat setiap orang. Briton menyebutkan bahwa “ sosiolisme dapat diartikan sebagai bentuk perekonomian di mana pemerintah paling kurang bertindak sebagai pihak yang dipercayai oleh seluruh warga masyarakat, dan menasionalisasikan industri-industri besar dan strategis yang menyangkut hidup orang banyak ”.
Dalam Islam, kebutuhan memang menjadi alasan untuk mencapai pendapatan maksimum. Sedangkan kecukupan dalam standar hidup yang baik (nisab) adalah hal yang paling mendasari dalam system distribusi – redistribusi kekayaan, setelah itu baru dikaitkan dengan kerja dan kepemilikan pribadi. Harus dipahami bahwa islam tidak menjadikan complete income equality untuk semua umat sebagai tujuan utama dan paling akhir dari system distribusi dan pembangunan ekonomi.  Namun demikian, upaya untuk mengeliminasi kesenjangan antar pendapatan umat adalah sebuah keharusan.
1. Distribusi Pendapatan Dalam Rumah Tangga
Mengingat nilai-nilai Islam merupakan faktor endogen dalam rumah tangga seorang muslim, maka haruslah dipahami bahwa seluruh proses aktifitas ekonomi di dalamnya, harus dilandasi legalitas halal haram mulai dari: produktivitas,hak kepemilikan, konsumsi, transaksi dan investasi. Aktivitas yang terkait dengan aspek hokum tersebut kemudian menjadi muara bagaimana seorang muslim melaksanakan proses distribusi pendapatannya.
Distribusi pendapatan dapat konteks rumah tangga akan sangat terkait dengan terminology shadaqoh. Pengertian shadaqoh di sini bukan berarti sedekah dalam konteks pengertian baghasa Indonesia. Karena shadaqoh dalam konteks terminologi Al-Qur’an dapat dipahami dalam tiga aspek, yaitu
Pertama : Instrumen shadaqoh wajibah (wajib dan khusus dikenakan bagi orang muslim) seperti:
1.    Nafaqah               5.  Musaadah
2.    Zakat                    6.  Jiwar
3.    Udhiyah               7.  Diyafah
4.    Warisan
5
Kedua : Instrumen shodaqoh nafilah (sunah dan khusus dikenakan bagi orang muslim) seperti:
1.    Infaq                     2.  Aqiqah                   3.    Wakaf
Ketiga: Instrumen term had/ hudud (hukuman), seperti:
1.    Kafarat                 2.  Dam/diyat              3.   Nudzur
Berbeda dengan ajaran ekonomi mana pun, ajaran Islam dalam mendistribusikan pendapatan rumah tangga mengenal skala prioritas yang ketat. Bahkan berkaitan dengan kewajiban zakat, ajaran Islam memberikan sejumlah persyaratan (karakteristik khusus) pada aset wajib zakat. Dari kepemilikan aset yang dimiliki, pertama yang harus di distribusikan (dikeluarkan) dari jumlah seluruh asset adalah kebutuhan keluarga, dan dahulukan membayar hutang.
Kemudian dari sisa aset yang ada, yang harus diprioritaskan adalah distribusi melalui instrumen zakat. Namun harus dilihat terlebih dahulu karakter dari sisa asset tersebut, ada 3 yaitu:
1.    Apakah asset itu di atas nisab.
2.    Kepemilikan sempurna.
3.    sudah genap satu tahun kepemilikan dan potensi pruduktif.
2. Distribusi Pendapatan Dalam Negara
Prinsip-prinsip ekonomi yang dibangun di atas nilai moral Islam mencanangkan kepentingan distribusi pendapatan secara adil. Para sarjana muslim banyak membicarakan objektivitas perekonomian berbasis Islam pada level Negara terkait dengan, diantaranya: penjaminan level minimum kehidupan bangsa bagi mereka yang berpendapatan di bawah kemampuan. Negara wajib bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan materi bagi ligkungan sosial maupun individu dengan pemafaatan sebesar-besarnya atas sumber daya yang tersedia. Karena itu negara wajib mengeluarkan kebijakan yang mengupayakan stabilitas ekonomi, kesetaraan, ketenagakerjaan, pembangunan sosial ekonomi, dan lain sebagainya.
Kemudian dilanjutkan dengan model ekonomi politik dalam pengambilan keputusan dan kebikjakan pemerintah yang berdampak secara langsung dan tidak langsung kepada distribusi pendapatan, seperti anggaran pendapatan dan belanja Negara, kebijakan fiskal dan moneter dengan basis hipotesis kepda ketidaksempurnaan pasaran teori-teori, yang berkaitan dengan moral hazard dan adverse selection.


6
a.      Pengelolaan Sumber Daya
Dalam pengelolaan sumberdaya yang tersedia, pemerintah (Negara) harus mampu mendistribusikan secara baik atas pemanfaatan tanah/lahan dan industri. Ajaran Islam memberikan otoritas kepada pemerintah dalam menentukan kebijakan penggunaan lahan untuk kepentingan Negara dan publik (hak hima), distribusi tanah (hak iqta) kepada sector swasta, penarikan pajak, subsidi, dan keistimewaan non monetary lainnya yang legalitasnya dikembalikan kepada aturan syari’ah. Semua keistimewaan tersebut harus diarahkan untuk memenuhi kepentingan public dan pembebasan kemiskinan.
Dalam negara Islam, kebijaksanaan fiskal merupakan salah satu perangkat untuk mencapai tujuan syariah yang dijelaskan Imam al-Ghazali termasuk meningkatkan kesejahteraan dengan tetap menjaga keimanan, kehidupan, intelektualitas, kekayaan dan kepemilikan. Pada masa kenabian dan kekhalifahan setelahnya, kaum Muslimin cukup berpengalaman  dalam menerapkan beberapa instrumen  sebagai kebijakan fiskal, yang diselenggarakan pada lembaga baitul maal (national treasury).
Dalam Islam kita kenal adanya konsep zakat, infaq, sadaqah, wakaf dan lain-lain (ZISWA).  Zakat merupakan kewajiban untuk mengeluarkan sebagian pendapatan atau harta seseorang yang telah memenuhi syarat syariah Islam guna diberikan kepada berbagai unsur masyarakat yang telah ditetapkan dalam syariah Islam. Sementara Infaq, Sadaqah, Wakaf merupakan pengeluaran ‘sukarela’ yang juga sangat dianjurkan dalam Islam. Dengan demikian ZISWA merupakan unsur-unsur yang terkandung dalam kebijakan fiskal. Unsur-unsur tersebut ada yang bersifat wajib seperti zakat dan ada pula yang bersifat sukarela seperti sadaqah, infaq dan waqaf.
   Zakat
Zakat merupakan pungutan wajib atas individu yang memiliki harta wajib zakat yang
melebihi nishab (muzakki), dan didistribusikan kepada delapan golongan penerima
zakat (mustahik), yaitu: fakir, miskin, fisabilillah, ibnussabil, amil, gharimin, hamba
sahaya, dan muallaf.
Konsep fikih zakat menyebutkan bahwa sistem zakat berusaha untuk mempertemukan pihak surplus Muslim dengan pihak defisit Muslim. Hal ini dengan harapan terjadi proyeksi pemerataan pendapatan antara surplus dan defisit Muslim atau bahkan menjadikan kelompok yang defisit (mustahik) menjadi surplus (muzzaki). Dalam al-Qur’an diperkirakan terdapat  30


7
ayat yang berkaitan dengan perintah untuk mengeluarkan zakat. Perintah berzakat sering
muncul berdampingan sesudah perintah mendirikan shalat. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya kegiatan berzakat dalam Islam.
Nisab adalah angka minimal aset yang terkena kewajiban zakat. Dalam konteks zakat penghasilan, maka nisabnya adalah penghasilan minimal perbulan yang membuat seseorang menjadi wajib zakat (muzakki).
Penerapan sistem zakat akan mempunyai berbagai implikasi di berbagai segi
kehidupan, antara lain:
1)  Memenuhi kebutuhan masyarakat yang kekurangan;
2)  Memperkecil jurang kesenjangan ekonomi;
3)  Menekan jumlah permasalahan sosial; kriminalitas, pelacuran, gelandangan,
     pengemis, dan lain-lain;
4)  Menjaga kemampuan beli masyarakat agar dapat memelihara sektor usaha.
    Dengan kata lain zakat menjaga konsumsi masyarakat pada tingkat yang minimal          sehingga perekonomian dapat terus berjalan; dan
5)  Mendorong masyarakat untuk berinvestasi, dan tidak menumpuk hartanya
b.      Kompetisi Pasar dan Redistribusi Sistem
Perspektif teori menyatakan bahwa pasar adalah salah satu mekanisme yang bisa dijalankan oleh manusia untuk mengatasi problem-problem ekonomi yang terdiri atas: produksi, konsumsi, dan distribusi. Keberatan terbesar terdapat mekanisme pasar adalah bahwa pasar tak lebih sebagai instrument bagi kelas yang berkuasa (invector) untuk mengukuhkan dominasinya terhadap kelas yang tertindas (labor).
Dari kacamata ekonomi pasar Islam, mekanisme pasar menekan seminimal mungkin mungkin peranan pemerintah (command economics). Pembenaran atas diperbolehkan pemerintah masuk sebagai pelaku pasar (intervensi) hanyalah jika pasar tidak dalam keadaan sempurna, dalam arti ada kondisi-kondisi yang menghalangi kompetisi yang fair terjadi atau
distribusi yang tidak normal atau dengan kata lain mengupayakan tidak terjadinya market failure. Sebagai contoh klasik dari kondisi market failure antara lain: barang publik, eksternalitas, (termasuk pencemaran dan kerusakan lingkungan), asymetrik information, biaya transaksi, kepastian institusional serta masalah dalam  distribusi. Dalam masalah yang lebih singkat, masuknya pemerintah adalah untuk menjamin fairness dan keadilan.


8
Dalam kajian ekonomi konvensional, teori keadilan perataan pendapatan berdiri diaas empat hal, yaitu: prinsip-prinsip kebutuhan dasar, prinsip-prinsip efesiensi, prinsip-prinsip eequity yang menghabiskan proposional dan tanggung jawab social dan prinsip-prinsip yang yang menggantungkan permasalahan keadilan atas dasar hasil evaluasi keadaan dan situasi yang berlaku. Sedang di pihak lain, ajaran islam menjelaskan bahwa selain mengupayakan mekanisme pasar yang berada dalam frame hala-haram, ajaran islam juga menganut keyakinan adanya tanggung jawab personal terhadap kesejahteraan orang lain serta batas batas kesejahteraan yang seharusnya dinikmati pelaku pasar susuai dengan aturan syari’ah. Untuk hal tersebut instrument dikedepankan adalah zakat yang didisrtibusikan secara produktif.
D.      Moral dalam Distribusi Pendapatan
Menurut paham kapitalisme, setiap individu harus memiliki kebebasan sepenuhnya agar ia dapat memproduksi kekayaan dalam jumlah yang sebanyak-bayaknya dengan memanfaatkan kemampuan yang ia miliki sejak lahir. Paham kapitalisme juga mengakui tak terbatasnya hak individu dalam pemilikan pribadi serta menghalalkan pendistribusian yang tidak adil. Pandangan ekstrem lainnya yaitu paham komunisme menyetujui penghapusan kebebasan individu dan pemilikan pribadi secara menyeluruh, dan pada saat yang sama menginginkan pemerataan ekonomi di antara penduduk. Dengan kata lain, paham kapitalisme menekankan pada produksi kekayaan, sedangkan paham komunisme pada distribusi kekayaan, dengan tidak memperhatikan dampaknya terhadap masyarakat.
Dalam konteks ini, Islam mengambil jalan tengah antara pola kapitalis dan sosialis yaitu tidak memberikan kebebasan mutlak maupun hak yang tidak terbatas dalam pemilikan kekayaan pribadi bagi individu dalam lapangan produksi, dan tidak pula mengikat individu pada sebuah sistem pemerataan ekonomi yang di bawah sistem ini ia tidak dapat memperoleh dan memiliki kekayaan secara bebas. Islam menganggap bahwa manusia adalah makhluk ciptaan yang paling sempurna, paling mulia dan bahkan manusia diberikan kepercayaan sebagai sebagai khalifah yang bertugas untuk mengelols dunia guna mencapai kemakmuran.
Merujuk pada pesan Al-Quran dalam bidang ekonomi, dapat dipahami bahwa Islam mendorong penganutnya untuk menikmati karunia yang telah diberikan oleh Allah SWT. Maka karunia tersebut harus didayagunakan untuk meningkatkan pertumbuhan, baik materi maupun nonmateri dengan bekerja/berjuang untuk mendapatkan materi/harta dengan


9
berbagai cara, asalkan mengikuti aturan-aturan yang ada. Maka dengan keyakinan akan peran dan kepemilikan absolut dari Allah, maka konsep produksi dalam ekonomi Islam tidak semata-mata bermotif maksimalisasi keuntungan dunia, tetapi lebih penting untuk maksimalisasi keuntungan akhirat. Urusan dunia merupakan sarana untuk memperoleh kesejahteraan akhirat.  Islam mengarahkan mekanisme berbasis spiritual dalam pemeliharaan keadilan sosial pada setiap aktifitas ekonomi. Latar belakangnya karena ketidakseimbangan distribusi kekayaan adalah hal yang mendasari hampir semua konflik individu maupun sosial. Upaya pencapaian manusia akan kebahagiaan akan sulit dicapai tanpa adanya keyakinan pada prinsip moral dan sekaligus kedisiplinan dalam mengimplementasikan konsep moral tersebut.
Distribusi dalam ekonomi islam didasarkan pada dua nilai manusiawi yang sangat mendasar dan penting, yaitu : nilai kebebasan dan nilai keadilan. Pendapat ini didasarkan atas kenyataan bahwa Allah sebagai pemilik mutlak kekayaan telah memberi amanat kepada manusia untuk mengatur dan mengelola kekayaan disertai kewenangan untuk memiliki kekayaan tersebut.  Sehubungan dengan masalah distribusi ini, Qardhawi menjelaskan sebagai berikut :
1.       Nilai Kebebasan
a.       Asas Kebebasan
Kebebasan dalam melakukan aktivitas ekonomi harus dilandasi keimanan kepada Allah dan ke-Esaan-Nya serta keyakinan manusia kepada Sang Pencipta. Allah lah yang menciptakan dan Dia pula yang mengatur segala urusan sehingga tidak layak lagi bagi manusia untuk menyombongkan diri serta bertindak otoriter terhadap makhluk lainnya. Tidak boleh ada pemaksaan dan penindasan karena seluruh makhluk dihadapan Tuhan adalah sama.
Keyakinan manusia kepada Allah didasarkan atas persiapan material dan spritiual yang diberikan Allah kepada manusia dalam melakukan tugasnya sebagai khalifah. Kebebasan manusia adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dengan kehidupannya. Seorang yang terbelenggu tidak akan produktif. Islam memberikan
kebebasan kepada mausia untuk berusaha, memiliki, mengelola, dan membelanjakan hartanya sesuai dengan peraturan yang ditetapkan oleh Allah sehingga manusia pantas dimuliakan dan menerima amanah dari Allah yang harus dipertanggungjawabkan di Hari Kemudian.


10
b.     Bukti-Bukti Kebebasan
1)     Hak Milik Pribadi
Kepemilikan adalah suatu bukti prinsip kebebasan. Seorang yang memiliki suatu benda dapat menguasai dan memanfaatkannya. Ia dapat pula mengembangkan hak miliknya dengan cara-cara yang dibenarkan islam. islam melindngi hak milik pribadi dari perbuatan zalim seseorang dan menganjurkan untuk mempertahankan hak miliknya. Kebebasan mengharuskan seseorang untuk menanggung risiko sesuai dengan apa yang dilakukan dan memberikan hak orang lain yang terdapat di dalam hartanya.
2)     Warisan
Disyari’atkannya warisan adalah sebagai pencerminan kebebasan. Di mana seseorang dapat melestarikan dan mengelola secara berkesinambungan apa yang menjadi miliknya. Perolehan hak milik dari pemilik yang lama kepada penggantinya dapat terjadi dalam duah hal, yaitu: melalui warisan dan wasiat. Kedua hal ini diakui oleh syar’i dengan maksud untuk memelihara kemaslahatan individu, keluarga dan masyarakat.
Kemaslahatan indvidu dapat diperoleh dengan memenuhi keinginannya serta menjaga kepentingannya dari perampasan hak yang merupakan salah satu hikmah disyari’atkannya wasiat dan waris. Selanjutnya Allah sangat menganjurkan agar kita memberi nafkah kepada keluarga terdekat agar terciptanya kemaslahatan dalam keluarga, dan yang terakhir memaslahatkan masyarakat yang kemudian akan berdampak pada sistem distribusi. Warisan merupakan faktor yang sangat berperan dalam pemerataan kekayaan, perluasan dan pemindahan dari seorang pemilik kepada beberapa orang yang ketentuan pembagiannya telah ditentukan oleh Allah didalam Al-Qur’an.
2.       Nilai Keadilan
Kebebasan dalam islam tidak bersifat mutlak. Oleh karena itu meskipun seseorang diperbolehkan memiliki namun ada ketentuan batasannya atau aturan dalam memperoleh, mengembangkan dan mengkonsumsi harta yang dimilikiya. Islam juga mewajibkan setiap orang untuk mengeluarkan bagian tertentu dari harta yang dimilikinya.


11
Hal di atas dimaksudkan karena pada dasarnya manusia sangat senang mengumpulkan harta sehingga dalam pembelanjaan hartanya terkadang ia berlaku boros dan kikir. Oleh karena itu islam memberikan perhatian mengenai keadilan dan larangan berbuat zalim. Ayat yang ditegaskan didalam al-Qur’an yakni seorang muslim tidak diperbolehkan berbuat zalim terhadap orang lain termasuk lingkungannya. Kaitannya dengan distribusi pendapatan jika dalam pendistribusian pendapatan dilakukan dengan tidak adil maka akan menimbulkan keresahan dan protes dari pemilik faktor produksi. Oleh karena itu pembagian pendapatan harus diberikan dengan prinsip-prinsip keadilan.
E.      Pola Distribusi Kekayaan dalam Ekonomi Islam
Ada beberapa pola yang dapat digunakan dalam pendistribusian kekayaan diantaranya:
1.   Mudharabah
Mudharabah merupakan salah satu bentuk kerjasama antara pemilik modal dengan seseorang yang pakar dalam berdagang (yang oleh ulama Hijaz menyebutnya dengan qiradh. Dalam prakteknya mudharabah adalah dimana pemilik modal menyerahkan modalnya kepada pekerja (padagang) untuk diperdagangkan, sedangkan keuntungan dagang itu menjadi milik bersama dan dibagi menurut kesepakatan bersama. Dari aspek pendistribusian harta kekayaan dapat dilihat dalam skema dimana terjadi bentuk kerja sama antara seorang yang mempunyai surplus unit dengan mitra kerja yang hanya punya skill sekaligus sebagai pihak yang deficits unit. Dengan terjadinnya kerja sama antara shahibul mal dengan mitranya dengan sendirinya menjalankan pola distribusi yang adil dan berdasarkan hubungan kemitraan.
2.   Musyarakah
Syirkah atau perseroan adalah suatu bentuk transaksi antara dua orang atau lebih, yang kedua-duanya sepakat untuk melakiukan kerjasama yang bersifat finansial dengan tujuan mencari keuntungan. Musyarakah merupakan juga salah satu bentuk kerja sama antara dua orang atau lebih dalam sebuah usaha atau modal dalam bentuk coorporate dengan bagi hasil keuntungan berdasarkan kesepakatan. Musyarakah berbeda dari mudharabah, dalam mudharabah pemilik modal tidak diberikan peran dalam menjalankan manajemen perusahaan, sedangkan dalam musyrakah juga ada bagi hasil, tapi semua pihak berhak turut serta dalam pengambilan keputusan manajerial.


12
3.   Distribusi Pendapatan melalui Pola Mekanisme Pasar
·     Penentuan Harga
Allah SWT telah memberikan hak tiap orang untuk membeli dengan harga yang disenangi. Ibnu Majah meriwayatkan dari Abi Sa’id: Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya jual beli itu (sah karena) sama-sama suka”. Dalam artian sama sama suka adalah saling ridho dan transaksi yang dilakukan merupakan transaksi yang tidak bertentangan dengan syari’ah. Dalam konsep ekonomi Islam, penentuan harga dilakukan oleh kekuatan-kekuatan pasar, yaitu kekuatan permintaan dan penawaran. Dalam konsep Islam pula, pertemuan permintaan dengan penawaran adalah terjadi secara seimbang dengan rela sama rela (an taradhin) atau tidak ada pemaksaan terhadap harga tersebut pada saat transaksi. Islam mengatur agar persaingan di pasar dilakukan secara adil.
·         Larangan Penimbunan dan Spekulasi
Penimbun adalah orang yang mengumpulkan barang-barang dengan menunggu waktu naiknya harga barang-barang tersebut, sehingga dapat di jual dengan harga yang tinggi. Syarat terjadinya penimbunan adalah sampainya pada suatu batas yang menyulitkan warga setempat untuk membeli barang yang tertimbun, semata karena fakta penimbunan tersebut tidak terjadi selain dalam keadaan semacam ini. Orang-orang yang menyembunyikan (menimbun) hartanya yang dikumpulkan sesungguhnya mereka telah menghambat arus industri, serta menghalangi kemajuan dan pembangunan negara. Seharusnya harta mereka digunakan untuk menghasilkan kekayaan lebih banyak keuntungan masyarakat dan kapitalis-kapitalis itu sendiri. Semua bentuk perdagangan komersil yang memungkinkan adanya penghilangan hak pihak-pihak yang terlibat (hoarding/penyembunyian barang maupun pasar gelap), itu semua dilarang.







13
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
            Dalam ekonomi konvensional, alokasi barang-barang dikatakan efesien bila tidak seorang pun dapat meningkatkan utiliynya tanpa mengurangi utility orang lain. pada intinya ketika sumber daya yang ada telah habis teralokasi maka itu dikatakan efisien tanpa memperdulikan apakah itu adil atau tidak. Sedangkan dalam ekonomi islam, lebih memperhatikan nilai keadilan. Selain itu juga konsep ekonomi islam juga mendorong pada upaya peningkatan sumber daya, bukan hanya menghabiskan sumber daya untuk dialokasikan secara efisien.
            Distribusi dalam ekonomi islam didasarkan pada dua nilai manusiawi yang sangat mendasar dan penting, yaitu : nilai kebebasan dan nilai keadilan. Pendapat ini didasarkan atas kenyataan bahwa Allah sebagai pemilik mutlak kekayaan telah memberi amanat kepada manusia untuk mengatur dan mengelola kekayaan disertai kewenangan untuk memiliki kekayaan tersebut.
             
















14
DAFTAR PUSTAKA

Karim, Adiwarman A. (2007) ,Ekonomi Mikro Islam,  Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Muhammad, (2004), Ekonomi Mikro Dalam Perspektif Islam, yogyakarta : BPFE-Yogyakarta, Anggota IKAPI

Sumber Referensi Lain :



1 comment: