BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Urbuun atau biasa disebut uang muka atau panjar atau
pun DP. Sebuah transaksi uang yang sering terjadi antar penjual dan pembeli.
Urbuun pun ada yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan, ada yang di sahkan
dan ada yang diharamkan. Dan banyak pendapat dari berbagai ulama yang
memperselisihkan bahwa uang muka itu boleh tidak sih menurut agama? Disini saya
akan menjelaskannya sekemampuan saya.
Uang dalam fiqih biasa di sebut urbun. Menurut para
ulama menyimpulkan. Bahwa, seorang pembeli yang sudah membayarkan uang mukanya
mempunya dua kemungkinan, bisa dia menyempurnakannya bisa jadi dia menggagalkan
transaksi jual beli. Jika transaksi di sempurnakan, semuanya mendapat ke
untungan dan mendapatkan yang mereka keinginan, dan jika transaksi di gagalkan
oleh si pembeli, maka bisa jadi si pembeli mendapatkan uang nya kembali atau
kah mengiklaskan uang mukanya. Karna belum jelas, saya akan menerangkan apa itu
uang muka? Bagaimana? Boleh atau tidak nya?
,
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Definisi
Uang muka dalam istilah fiqih
dikenal dengan al-Urbuun (العربون). Kata ini memiliki padanan kata (sinonim)
dalam bahasa Arabnya yaitu, Urbaan (الأربان), ‘Urbaan (العربان) dan Urbuun الأربون)) Secara bahasa artinya yang jadi transaksi dalam jual beli.
Berkata penulis kitab Al Mishbah
Al Munier
“Al Arabun dengan difathahkan
huruf ‘Ain dan Ra’nya. Sebagian ulama menyatakan, yaitu seorang membeli sesuatu
atau menyewa sesuatu dan memberikan sebagian pembayarannya atau uang sewanya
kemudian menyatakan, ‘Apabila transaksi sempurna maka kita hitung ini sebagai
pembayaran dan bila tidak maka itu untukmu dan aku tidak meminta kembali
darimu.’ Dikatakan Al ‘Urbun dengan
wazan ‘Ushfur dan Al ‘Urbaan dengan huruf nun asli.
Al Ashma’i menyatkan, Al-’Urbun
adalah kata ajam (non arab) yang diarabkan.
Gambaran bentuk jual beli :
Sejumlah uang yang dibayarkan
dimuka oleh seseorang pembeli barang kepada si penjual. Bila transaksi itu
mereka lanjutkan, maka uang muka itu dimasukkan ke dalam harga pembayaran.
Kalau tidak jadi, maka menjadi milik si penjual.
Atau seorang pembeli menyerahkan
sejumlah uang dan menyatakan, “Apabila saya ambil barang tersebut maka ini
adalah bagian dari nilai harga dan bila saya tidak jadi mengambil (barang itu),
maka uang (DP) tersebut untukmu.”
Atau seorang membeli barang dan
menyerahkan kepada penjualnya satu dirham (koin perak murri) atau lebih dengan
ketentuan apabila si pembeli mengambil barang tersebut, maka uang panjar
tersebut dihitung pembayaran dan bila gagal maka itu milik penjual.
Jelas disini bahwa sistem jual beli
ini dikenal dalam masyarakat kita dengan pembayaran DP atau uang jadi. Wallahu
A’lam
2.
Dasar Hukum
Dalam permasalahan ini para ulama
berbeda pendapat menjadi dua pendapat:
a. Jual beli dengan uang muka
(panjar) ini tidak sah.
Inilah pendapat mayoritas ulama
dari kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah dan Syafi’iyyah. Al Khothobi menyatakan,
“Para ulama berselisih pendapat tentang kebolehan jual beli ini. Malik, Syafi’i
menyatakan ketidaksahannya, karena adanya hadits. dan karena terdapat syarat
fasad dan Al Ghoror. Juga hal ini masuk dalam kategori memakan harta orang lain
dengan bathil. Demikian juga Ash-habul Ra’yi (madzhab Abu Hanifah -pen)
menilainya tidak sah.”
Hadisnya
Ibnu
Qudamah menyatakan, “Ini pendapat Imam Malik, Al Syafi’i dan Ash-hab Al Ra’yi
dan diriwayatkan juga dari Ibnu Abbas dan Al Hasan Al Bashri.”
Dasar argumentasi mereka di
antaranya:
a. Hadits Amru bin Syuaib, dari
ayahnya, dari kakeknya bahwa ia berkata,
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْعُرْبَانِ
قَالَ مَالِكٌ وَذَلِكَ فِيمَا نَرَى وَاللَّهُ أَعْلَمُ أَنْ يَشْتَرِيَ الرَّجُلُ الْعَبْدَ أَوْ يَتَكَارَى الدَّابَّةَ ثُمَّ يَقُولُ أُعْطِيكَ دِينَارًا عَلَى أَنِّي إِنْ تَرَكْتُ السِّلْعَةَ أَوْ الْكِرَاءَ فَمَا أَعْطَيْتُكَ لَكَ
Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa
sallam melarang jual beli dengan sistem uang muka. Imam Malik menyatakan, “Dan
menurut yang kita lihat –wallahu A’lam- (jual beli) ini adalah seorang membeli
budak atau menyewa hewan kendaraan kemudian menyatakan, ‘Saya berikan kepadamu
satu dinar (keping koin emas) dengan ketentuan apabila
saya gagal beli atau gagal menyewanya maka uang yang telah saya berikan itu
menjadi milikmu.”
b. Jenis jual beli semacam itu
termasuk memakan harta orang lain dengan cara batil (tidak sesuai syariat),
karena disyaratkan bagi si penjual tanpa ada kompensasinya. Sedangkan memakan
harta orang lain hukumnya haram sebagaimana firman Allah,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan
janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.” (Qs. An Nisaa’ 4: 29)
Imam Al Qurthubi dalam Tafsirnya
(5/150) menyatakan, “Diantara bentuk memakan harta orang lain dengan bathil
adalah jual beli dengan panjar (uang muka). Jual beli ini tidak benar dan tidak
boleh menurut sejumlah ahli fiqih dari ahli Hijaz dan Iraq, karena termasuk
jual beli perjudian, ghoror, spekulatif, dan memakan harta orang lain dengan
batil tanpa pengganti dan hadiah pemberian dan itu jelas batil menurut ijma
(pendapat para ulama yang dikumpulkan).”
c. Karena dalam jual beli itu ada
dua syarat batil: syarat memberikan uang panjar dan syarat mengembalikan barang
transaksi dengan perkiraan salah satu pihak tidak ridha.[12] Padahal Rasululloh
shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا يحل سلف وبيع ، ولا شرطان في بيع . رواه الخمسة
“Tidak boleh ada hutang dan jual
beli dan dua syarat dalam satu jual beli.” (HR Al Khomsah).
Hukumnya sama dengan hak pilih
terhadap hal yang tidak diketahui (Khiyaar Al Majhul). Kalau disyaratkan harus
ada pengembalian barang tanpa disebutkan waktunya, jelas tidak sah. Demikian
juga apabila dikatakan, “Saya punya hak pilih. Kapan mau, akan saya kembalikan
dengan tanpa dikembalikan uang bayarannya. Ibnu Qudamah menyatakan, “Inilah
qiyas (analogi).”
”
Pendapat ini dirojihkan Al
Syaukani dalam pernyataan beliau, “Yang rojih (kuat) adalah pendapat mayoritas
ulama, karena hadits ‘Amru bin Syu’aib telah ada dari beberapa jalan
periwayatan yang saling menguatkan. Juga karena hal ini mengandung larangan dan
hadits yang terkandung larangan lebih rojih dari yang menunjukkan kebolehan
sebagaimana telah jelas dalam ushul Fiqih…”
2. Jual beli ini diperbolehkan.
Inilah pendapat madzhab
Hambaliyyah dan diriwayatkan kebolehan jual beli ini dari Umar, Ibnu Umar,
Sa’id bin Al Musayyib dan Muhammad bin Sirin.
Al Khothobi menyatakan, “Telah
diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa beliau memperbolehkan jual beli ini dan juga
diriwayatkan dari Umar. Ahmad cenderung mengambil pendapat yang membolehkannya
dan menyatakan, ‘Aku tidak akan mampu menyatakan sesuatu sedangkan ini adalah
pendapat Umar, yaitu tentang kebolehannya.’ Ahmad pun melemahkan (mendhoifkan)
hadits larangan jual beli ini, Karena terputus.
Hadisnya
Dasar argumentasi mereka adalah:
a. Atsar yang berbunyi,
عَنْ نَافِعِ بْنِ الحارث, أَنَّهُ اشْتَرَى لِعُمَرَ دَارَ
السِّجْنِ مِنْ صَفْوَانَ بْنِ أُمَيَّةَ, فَإِنْ رَضِيَ عُمَرُ , وَ إِلاَّ فَلَهُ كَذَا وَ كَذَا
Diriwayatkan dari Nafi bin
Al-Harits, ia pernah membelikan sebuah bangunan penjara untuk Umar dari Shafwan
bin Umayyah, (dengan ketentuan) apabila Umar suka. Bila tidak, maka Shafwan
berhak mendapatkan uang sekian dan sekian.
Atsar ini dikeluarkan Ibnu Abi
Syaibah dalam Mushannafnya (5/392) dan Al Bukhori secara mu’allaq (lihat Fathul
Bari 5/91) dan Al Atsram meriwayatkannya dalam kitab Sunnahnya dari jalan
periwayatan Ibnu ‘Uyainah dari Amru bin Dinaar dari Abdurrahman bin Farukh
dengan lafadz,
أن نافع بن عبد الحارث اشترى داراً للسجن من صفوان بن أمية بأربعة آلاف درهم، فإن رضي عمر فالبيع له، وإن عمر لم يرض فأربعمائة لصفوان
Demikian juga Abdurrazaaq dalam
Mushonnafnya (5/148-149), Al Baihaqi dalam sunannya 6/34, Al Azraaqi dalam
Akhbaar Makkah 2/165 dan Al Fakihi dalam Akhbaar Makkah 3/254 seluruhnya dari
jalan Sufyan bin ‘Uyainah.
Dalam sanad ini ada Abdurrahman
bin Farukh Maula Al ‘Adawi, Al Haafidz ibnu Hajar dalam Al Taqrieb hal 254
menyatakan, “Maqbul dari tabaqat ketiga dan imam al-Bukhori tidak secara
gamblang menyebutnya.”
Ibnu Hibaan menyebutnya dalam
kitab Al Tsiqaat 7/87 dan Al Dzahabi tidak berkomentar dalam Al Mizaan 2/582
serta Muslim menyebutkannya dalam kitab Al Wihdaan hal 117 termasuk orang yang
Amru bin Dinar bersendirian meriwayatkan hadits darinya dan Al Bukhori tidak
memberikan keterangan tambahan dalam tarikhnya 5/337 selain menyatakan
Abdurrahman bin Farukh maula Umar bin Al Khothob dari bapaknya.
Syeikh Al Albani menyatakan dalam
Mukhtashor Al Bukhori 2/137, “Sungguh Abdurrahman ini telah diisyaratkan Al
Dzahabi sebagai perawi majhul, tidak meriwayatkan darinya kecuali Amru bin
Dinaar.”
Al Haafidz dalam Fathul Bari
5/91-92 menyatakan bahwa Umar bin Syubah meriwayatkannya dalam Akhbar Makkah
dari jalan Ibnu Juraij dengan menghapus Abdurrahman dan yang benar bahwa Ibnu
Juraij meriwayatkannya dari Abdurahman ini juga, sebagaimana disampaikan
Abdurrazaq dalam Mushonnafnya 5/147-148.
Riwayat ini dapat dijadikan
hujjah, sebagaimana dilakukan imam Ahmad bin Hambal.
Al-Atsram
berkata, “Saya bertanya kepada Ahmad, ‘Apakah Anda berpendapat demikian?’
Beliau menjawab, ‘Apa yang harus kukatakan? Ini Umar rodhiyallohu ‘anhu (telah
berpendapat demikian).”
Demikian juga Ibnul Qayyim
menukilkannya dari beliau pada Bada’i Al Fawa’id 4/84.
Ditambah kisah ini telah masyhur
dikalangan para ulama dan penulis sejarah Makkah seperti Al Azraaqi, Al Fakihi
dan Umar bin Syubah hingga diriwayatkan penjara ini masih ada sampai zaman Al
Fakihie. Wallahu A’lam.
b. Hadits Amru bin Syuaib adalah
lemah sehingga tidak dapat dijadikan sandaran dalam melarang jual beli ini.
Kelemahannya karena semua jalan
periwayatannya kembali kepada orang tsiqah yang mubham (tidak disebut namanya).
Ini karena imam Malik menyatakan, Telah menceritakan kepadaku seorang tsiqah
sebagaimana dalam riwayat Ahmad dan Malik di Muwatha’.” Sedangkan dalam riwayat
Abu Daud dan ibnu Majah diriwayatkan imam Malik menyatakan, “Telah sampai
kepada kami bahwa Amru bin Syu’aib …” Ini tentu saja menunjukkan adanya perawi
yang dihapus antara Malik dengan Amru bin Syu’aib. Adapun ibnu Majah
meriwayatkan dari jalan lain, namun ada perawi bernama Abu Muhammad Habieb bin
Abi Habieb Katib Malik yang matruk (lemah sekali) dan Abdullah bin Amir Al
Aslami yang juga lemah.
Hadits ini dinilai lemah oleh Imam
Ahmad, Al Baihaqi, Al Nawawi, Al Mundziri, Ibnu Hajar dan Al Albani.
c. Panjar ini adalah kompensasi
dari penjual yang menunggu dan menyimpan barang transaksi selama beberapa
waktu. Ia tentu saja akan kehilangan sebagian kesempatan berjualan. Tidak sah
ucapan orang yang mengatakan bahwa panjar itu telah dijadikan syarat bagi
penjual tanpa ada imbalannya.
d. Tidak sahnya qiyas atau analogi
jual beli ini dengan Al Khiyar Al Majhul (hak pilih terhadap hal yang tidak
diketahui), karena syarat dibolehkannya panjar ini adalah dibatasinya waktu
menunggu. Dengan dibatasinya waktu pembayaran, maka batallah analogi tersebut,
dan hilanglah sisi yang dilarang dari jual beli tersebut.
e. Jual beli ini tidak dapat
dikatakan jual beli mengandung perjudian sebab tidak terkandung spekulasi
antara untung dan buntung. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Syarah Bulugh Al Maram
hal. 100 menyatakan, “Ketidakjelasan dalam jual beli al-Urbun tidak sama dengan
ketidak jelasan dalam perjudian, karena ketidakjelasan dalam perjudian
menjadikan dua transaktor tersebut berada antara untung dan buntung, adapun ini
tidak, karena penjual tidak merugi bahkan untung dan paling tidak barangnya
dapat kembali. Sudah dimaklumi seorang penjual memiliki syarat hak pilih untuk
dirinya selama satu hari atau dua hari, dan itu diperbolehkan. Dan jual beli dengan
uang muka ini menyerupai syarat hak pilih tersebut. Hanya saja penjual diberi
sebagian dari pembayaran apabila barang dikembalikan, karena nilainya telah
berkurang bila orang mengetahui hal itu walaupun hal ini didahulukan namun ada
maslahat disana. Juga ada maslahat lain bagi penjual karena pembeli bila telah
menyerahkan uang muka akan termotivasi untuk menyempurnakan transaksi jual
belinya. Demikian juga ada maslahat bagi pembeli, karena ia masih dapat memilih
mengembalikan barang tersebut bila menyerahkan uang muka. Padahal bila tidak
tentu diharuskan terjadinya jual beli tersebut.”
3.
Objek
Uang muka transaksi uang antara
penjual dan pembeli, dimana penjual yang mendapatkan uang muka dari pembeli
saat bertransaksi. Tapi jika tarnsaksi si pembeli dibatalkan maka akan
menguntungkan penjual karna pembeli sudah memebayar uang dp. Maka dari itu, diadakannya
uang muka juga agar bisa memotivasi pembeli untuk menyempurnakan pembayarannya
dan tidak ada kerugian bagi penjual.
4.
Rukun dan Syarat
jual beli ini mengandung dua
syarat yang fasid, salah satunya adalah syarat menyerahkan kepada penjual harta
(uang muka) secara gratis apabila pembeli gagal membelinya. Yang kedua adalah
syarat mengembalikan barang kepada penjual apabila tidak terjadi keridhoan
untuk membelinya.
5.
Contoh Penerapan / Kasus
Syeikh Abdulaziz bin Baaz mantan Mufti Agung Saudi Arabia Rohimahullah
pernah ditanya, ”Apa hukum melaksanakan jual beli sistem panjar (Al Urabun)
apabila belum sempurna jual belinya. Bentuknya adalah dua orang melakukan
transaksi jual beli, apabila jual beli sempurna maka pembeli menyempurnakan
nilai pembayarannya dan bila tidak jadi
maka penjual mengambil DP (panjar) tersebut dan tidak mengembalikannya kepada
pembeli?” Beliau menjawab, ”Tidak mengapa mengambil DP (uang panjar) tersebut
dalam pendapat yang rojih dari dua pendapat ulama, apabila penjual dan pembeli
telah sepakat untuk itu dan jual belinya tidak dilanjutkan (tidak
disempurnakan).”
Pertanyaan 1 :
Bolehkah seorang penjual mengambil
uang muka (’Urbuun) dari pembeli dan dalam keadaan pembeli gagal membeli atau
mengembalikannya apakah penjual berhak secara hukum syari’at mengambil uang
muka tersebut untuk dirinya tanpa mengembalikannya kepada pembeli?
Jawaban:
Apabila realitanya demikian maka
dibolehkan baginya (penjual) untuk memiliki uang muka tersebut untuk dirinya
dan tidak mengembalikannya kepada pembeli –menurut pendapat yang rojih- apabila
keduanya telah sepakat untuk itu.
Ditanda tangani oleh Syeikh
Abdulaziz bin Baaz, Abdurrazaq ‘Afifi dan Abdullah bin Ghadayaan.[28]
Pertanyaan 2 :
“Al ‘Urbuun sudah dikenal dengan
uang muka sedikit yang diserahkan pada waktu membeli untuk tanda jadi hingga
menjadikan barang dagangan tersebut tergantung. Apa hukum jual beli tersebut?
Banyak dari para penjual yang mengambil harta Urbuun (panjar) ketika gagal
pelunasan pembayaran, bagaimana hukumnya?”
Jawaban:
Jual beli dengan DP (’Urbuun)
diperbolehkan. Jual beli ini dengan membayar seorang pembeli kepada penjual
atau agennya (wakilnya) sejumlah uang yang lebih sedikit dari nilai harga
barang tersebut setelah selesai transaksi, untuk jaminan barang. Ini dilakukan
agar selain pembeli tersebut tidak mengambilnya dengan ketentuan apabila
pembeli tersebut mengambilnya maka uang muka tersebut terhitung dalam bagian
pembayaran dan bila tidak mengambilnya maka penjual berhak mengambil uang muka
tersebut dan memilikinya.
Jual beli sistem panjar (’urbuun)
ini sah, baik telah menentukan batas waktu pembayaran sisanya atau belum
menentukannya dan penjual memiliki hak secara syar’i menagih pembeli untuk
melunasi pembayaran setelah sempurna jual beli dan terjadi serah terima barang.
Kebolehan jual beli ‘urbuun ini
ditunjukkan oleh perbuatan Umar bin Al Khothobrodhiyallohu ‘anhu. Imam Ahmad
menyatakan tentang jual beli panjar ini, “Boleh.” Dan dari Ibnu Umar
rodhiyallohu ‘anhuma beliapun membolehkannya. Sa’id bin Al Musayyib dan
Muhammad bin Sirin menyatakan, “Diperbolehkan bila ia tidak ingin untuk
mengembalikan barangnya dan mengembalikan bersamanya sejumlah harta.
Sedangkan hadits yang diriwayatkan
dari Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi,
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْعُرْبَانِ
“Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa
sallam melarang jual beli dengan sistem uang muka.” Adalah hadits yang lemah
(Dhoif), imam Ahmad dan selainnya telah mendhoifkannya sehingga tidak bisa
dijadikan sandaran.
Bab III
PENUTUPAN
Kesimpulan
Yang dimaksud dengan jual beli
sistem panjar adalah menjual barang, lalu si pembeli memberi sejumlah uang
kepada si penjual dengan syarat bila ia jadi mengambil barang itu, maka uang
muka tersebut masuk dalam harga yang harus dibayar. Namun kalau ia tidak jadi
membelinya, maka sejumlah uang itu menjadi milik penjual. Transaksi ini selain
berlaku untuk jual beli juga berlaku untuk sewa menyewa, karena menyewa berarti
membeli fasilitas. Di antara jual beli dikecualikan jual beli yang memiliki
syarat harus ada serah terima pembayaran atau barang transaksi di lokasi akad
(jual beli As-Salm) atau serah terima keduanya (barter komoditi riba fadhal dan
Money Changer). Dan dalam transaksi jual beli murabahah tidak berlaku bagi
orang yang mengharuskan pembayaran pada waktu yang dijanjikan, namun hanya pada
fase penjualan kedua yang dijanjikan.
Jual beli sistem panjar dibolehkan
bila dibatasi waktu menunggunya secara pasti, dan panjar itu dimasukkan sebagai
bagian pembayaran, bila sudah dibayar lunas. Dan menjadi milik penjual bila si
pembeli tidak jadi melakukan transaksi pembelian.
Pendapat yang membolehkannya. Penjual mengembalikan uang muka (panjar)
tersebut kepada pembeli ketika gagal menyempurnakan jual belinya, itu lebih
baik dan lebih besar pahalanya disisi Allah sebagaimana disabdakan Rasululloh
shollallohu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ أَقَالَ مُسْلِمًا أَقَالَهُ اللَّهُ عَثْرَتَهُ
“Siapa yang berbuat iqaalah dalam
jual belinya kepada seorang muslim maka Allah akan bebaskan ia dari kesalahan
dan dosanya.”
Iqalah dalam jual beli dapat
digambarkan dengan seorang membeli sesuatu dari seorang penjual, kemudian
pembeli ini menyesal membelinya, ada kala karena sangat rugi atau sudah tidak
butuh lagi atau tidak mampu melunasinya, lalu pembeli itu mengembalikan barangnya
kepada penjual dan penjualnya menerimanya kembali (tanpa mengambil sesuatu dari
pembeli).
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Sarwat, Lc, Seri Fiqih Islam” Kitab Muamalat”,
2009, Kampus Syariah
No comments:
Post a Comment